Aceh, Sudah saatnya Revitalisasi Agama
oleh : Yuliana
oleh : Yuliana
Menelaah
kembali kata seramoe mekkah. Sudahkah penerapan syariat Islam di Aceh
berkembang menuju perkembangan yang begitu memuaskan?. Sementara perdebatan
publik masih berkisar tentang hukum-hukum syariat islam. Bukankah Islam adalah
simbol ketaatan kepada seseuatu yang harus dipatuhi dan dipercayai sepenuhnya. Bukankah
nilai ketaatan akan hukum juga akan berpengaruh negatif apabila Islam itu
tidakdipercayai sepenuhnya?.
Lantas kenapa penerapan syariat
Islam saat ini di Aceh sangat sulit
dilakukan?
Aceh bisa dikatakan “ladang”
pendidikan berbasis agama, buktinya banyak sekali terdapat lembaga pendidikan
bernuansa Islami, seperti banyaknya dayah-dayah dan persanteran bahkan jenjang
tinggi pendidikan Islam juga terdapat di
Aceh seperti Universitas Islam yang hampir terdapat diseluruh pelosok aceh. Singkatnya,
banyak faktor yang tidak mendukung hal ini seperti masalah kemampuan ulama di
aceh, dan keterbatasan ilmu yang dipelajari dilingkungan pesantren dan dayah di
Aceh, serta faktor ekonomi.
Dilihat dari kultur sejarah,
masyarakat Aceh bukanlah orang yang mudah menerima dan mempercayai sesuatu
dengan mudah, mereka akan meneliti dan menelaah dulu sesuatu itu baru kemudian mentaatinya.
seperti misalnya kepercayaan kepada Raja pada masa kerajaan Aceh dahulu, tidak
lahir karena adanya intimidasi kepada masyarakat yang membuat takut masyarakat,
tetapi justru lahir dari adanya i’tikad yang baik dari Raja bekerja untuk
kebaikan masyarakatnya. Masyarakat Aceh, yang dahulunya percaya kepada kearifan
ulamanya, saat ini seperti kehilangan kepemimpinan ulama yang kharismatik yang
benar-benar dipercayai dengan sepenuh hati, terlihat dari pelaksanaan syariat
islam yang masih membingungkan.
Sebenarnya, tidak ada masyarakat
Aceh yang tidak gembira dengan diberlakukannya Syari’at Islam, karena jelas
perjuangan yang digemakan Tengku Daud Beureueh kepada Soekarno (Presiden RI
saat itu) untuk memberlakukan Syari’at Islam di Aceh baru berhasil setelah
ribuan nyawa melayang, membuktikan bahwa Syari’at Islam di Aceh benar-benar
merupakan perjuangan yang panjang. Karena itu, sebagai wujud syukur atas
keberhasilan ini rakyat Aceh akan berusaha merealisasikan Syari’at Islam
semaksimal mungkin (kaffah) di Aceh, disamping Syari’at Islam memang merupakan
panggilan terdalam nurani rakyat aceh untuk mengamalkan Islam secara kaffah
sejak dahulu kala.
Islam adalah lambang ketaatan kepada sesuatu,
bukan paksaan yang malah akan membuat hukum itu akan ditakuti, apalagi jika
hukum yang ditakuti itu adalah hukum Tuhan, sehingga terhadap penerapan
syari’at islam di Aceh masih banyak pertanyaan seperti, apa saja yang termasuk
Syariat Islam? siapa yang harus menjalankannya dan siapa yang paling
bertanggungjawab atas penegakannya? kapan dan bagaimana Syari’at Islam itu siap
dijalankan? Tentu saja pertanyaan-pertanyaan ini butuh jawaban yang tidak
mudah.
Tidak perlu terburu-buru mengatakan
bahwa Islam mengatur semuanya sebelum kita mengetahui kenapa Islam harus
mengatur segalanya, Allah menurunkan ajaranNya yang berisikan aturan-aturan
kehidupan tidak hanya diperuntukkan bagi kehidupan agama, karena aturan agama
itu sebenarnya adalah aturan yang dijalankan manusia di dunia yang kemudian
berimbas terhadap akhirat. Allah tidak memberi aturan yang mengatur bagaimana
cara beribadah dalam Islam? bagaimana cara shalat, puasa, zakat dan haji? tanpa
mengatur bagaimana cara bersosial? berpolitik? keamanan dan pertahanan? Bukankah tidak ada masalah yang berada diluar
itu yang Islam tidak mengaturnya?
Seperti yang kita ketahui Al-Qur’an
memuat semua aturan yang ada di dunia ini dan menjadi petunjuk bagi manusia
untuk menjalankan kehidupan dunianya untuk menuju akhiratnya, maka pertanyaan
pertama adalah bukan siapa yang harus menjalankan Syari’at tersebut, tetapi
siapa yang dapat memahami aturan itu benar sebagaimana yang dimaksud oleh Allah
dan Rasul-Nya secara tepat?. Dalam Allah
SWT telah memberikan manusia akal fikiran untuk mempertimbangkan dua hal ini
yang menurut al-Qur’an tidak mungkin akan bertemu dalam satu waktu, karena yang
benar dan salah merupakan suatu yang saling bertentangan. Untuk menetapkan
kebenaran memerlukan diskusi dan waktu yang panjang, Islam melarang menetapkan
kebenaran secara sepihak tanpa terlebih dahulu dilakukan pembahasan, diskusi,
debat yang semua diatur dengan sistem hikmah dan mau’idhatil hasanah, karena
menerapkan sistem ini pula Aceh telah mengalami masa keemasannya sebagai salah
satu pusat studi Islam dunia pada masa Sultan Iskandar Muda.
Untuk mewujudkan hal itu kembali,
maka yang dibutuhkan Aceh saat ini adalah mengangkat kembali urgensi pendidikan
agama agar menjadi satu-satunya sarana
untuk membangun kembali peradaban Aceh yang hilang akibat pertumpahan darah
yang berlangsung sejak serangan portugis pertama kali ke Malaka (saat itu masih
wilayah kerajaan Aceh), karena dengan diutamakannya pendidikan khususnya
pendidikan agama di Aceh, maka 10 atau 20 tahun mendatang Aceh akan memiliki
ulama yang menjadi rujukan rakyat Aceh, dan dapat menjadi percontohan untuk
penerapan Syari’at Islam di Aceh secara kaffah serta mampu menjawab setiap
persoalan kehidupan dengan petunjuk al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.
Pendidikan yang dimaksud tentu
dengan kurikulum yang memiliki tujuan dan ukuran jelas dan ditujukan untuk penerapan Syari’at Islam
maksimal di Aceh, artinya dengan penerapan Syari’at Islam di Aceh bukan justru
membuat Aceh menjadi tertutup untuk setiap pemikiran yang berkembang di dunia
saat ini, melainkan berdasarkan pada
keyakinan bahwa Islam adalah agama yang universal milik semua umat manusia yang
menginginkan kebenaran, dan mampu menjawab setiap persoalan dunia.
Mengingat adanya lembaga khusus yang
akan menangani masalah penerapan Syari’at Islam di Aceh yaitu Dinas Syari’at
Islam. Sehingga pendidikan agama yang dimaksud benar-benar akan mendapat
naungan penuh dari negara yang ditujukan sebagai persiapan untuk calon ulama
yang mengisi Aceh di masa mendatang, walaupun keberadaan naungan tersebut tentu tidak dapat
mengintervensi syari’at secara langsung menurut kemauan politik pemerintah.
Untuk itu, pemerintah yang saat ini
telah diberikan kekuasaan penuh untuk mendukung penerapan Syari’at Islam di
Aceh seharusnya memberikan bantuan yang maksimal untuk segera melakukan
persiapan penegakan Syari’at Islam secara kaffah di Aceh jika memang pemerintah
benar-benar bertujuan untuk itu, jika tidak masyarakat Aceh bisa menilai apa
sebenarnya yang menjadi tujuan pemerintah untuk Aceh. Dukungan pemerintah untuk
pendidikan kader ulama aceh (atau dengan istilah yang disesuaikan) disamping
ulama itu sendiri sangatlah dirasa penting sebagai percepatan penerapan
Syari’at Islam secara kaffah di Aceh.Salah satu usaha tersebut adalah dengan
mendirikan sekolah persiapan kader ulama, karena lulusan-lulusan dari sekolah
persiapan inilah nantinya akan mengisi setiap pos hingga kelompok masyarakat
terkecil di Aceh. Tetapi, dana untuk
penerapan Syari’at Islam itu sendiri sangat minim, tidak hanya itu bahkan
menurut hasil penelitian acehinstitute.org Dinas Syari’at Islam sendiri diisi
bukan oleh orang-orang yang berbasis agama, tidak hanya pada pegawainya yang
tidak cocok (dengan tidak generalisasi), personil Dinas Syari’at Islam malah
lebih banyak lulusan SLTP dan SLTA.
Persiapan personel Dinas Syari’at
Islam untuk saat ini benar-benar dipaksakan, sedangkan kita tahu bahwa
keterpaksaan tidak akan berdampak baik bagi apapun, dan kebutuhan akan adanya
lembaga persiapan untuk itu sangat mendesak, jika hal ini tidak segera
diselesaikan maka akan berdampak buruk bagi Syari’at Islam itu sendiri yang
telah memiliki dukungan penerintah tetapi tidak ada kemajuan yang berarti,
dampak tersebut bukan hanya dimata masyarakat Aceh sendiri yang lambat-laun
akan bosan nantinya, tapi juga dimata Internasional. Jika pemerintah dan orang
yang bertanggung jawab mampu melaksanakan tugas ini telah berhasil menerapkan
sistem yang baik bagi persiapan tersebut, maka Syari’at Islam sendiri perlahan
akan diterima dengan lapang dada dan tanpa paksaan di Aceh, saat itulah pertanyaan
tentang siapa yang akan menjalankan dan bertanggung jawab atas Syari’at Islam
di Aceh akan terjawab dengan sendirinya, yaitu rakyat aceh sendiri
.
Setelah persiapan-persiapan tersebut
telah rampung dan berhasil mencetak ulama-ulama Aceh untuk diterjunkan dalam
masyarakatnya, dan memberi bimbingan keagaamaan serta penyuluhan rohani yang
tepat bagi penyakit masyarakat, sehingga masyarakat yang rohaninya terbimbing
dengan Islam tentu akan membawa keberkahan bagi wilayah itu sendiri sebagaimana
janji Allah “jika penduduk suatu daerah
beriman dan bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan membukakan pintu keberkahan
bagi mereka “, artinya kemajuan lain seperti bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi akan ikut maju dengan sendirinya.
Namun tentu ulama-ulama yang
diterjunkan ke masyarakat tidak seperti “induk ayam yang mematuk anaknya yang
telah besar”, pemerintah harus tetap memperhatikan kesejahteraan ulama dari
segi kehidupan dan ekonominya, sehingga ulama benar-benar berkonsentrasi untuk
membimbing umat tanpa harus mengurangi waktunya untuk memenuhi kebutuhan diri
dan keluarganya. Mampukah pemerintah kita yang mengaku sebagai pelayan
masyarakat dalam mengatur hal ini dan kita sebagai juri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar