Rabu, 31 Mei 2017

Aceh, Sudah saatnya Revitalisasi Agama

Aceh, Sudah saatnya Revitalisasi Agama
oleh : Yuliana

Menelaah kembali kata seramoe mekkah. Sudahkah penerapan syariat Islam di Aceh berkembang menuju perkembangan yang begitu memuaskan?. Sementara perdebatan publik masih berkisar tentang hukum-hukum syariat islam. Bukankah Islam adalah simbol ketaatan kepada seseuatu yang harus dipatuhi dan dipercayai sepenuhnya. Bukankah nilai ketaatan akan hukum juga akan berpengaruh negatif apabila Islam itu tidakdipercayai sepenuhnya?.

Lantas kenapa penerapan syariat Islam saat ini  di Aceh sangat sulit dilakukan?

Aceh bisa dikatakan “ladang” pendidikan berbasis agama, buktinya banyak sekali terdapat lembaga pendidikan bernuansa Islami, seperti banyaknya dayah-dayah dan persanteran bahkan jenjang tinggi pendidikan Islam  juga terdapat di Aceh seperti Universitas Islam yang hampir terdapat diseluruh pelosok aceh. Singkatnya, banyak faktor yang tidak mendukung hal ini seperti masalah kemampuan ulama di aceh, dan keterbatasan ilmu yang dipelajari dilingkungan pesantren dan dayah di Aceh, serta faktor ekonomi.

Dilihat dari kultur sejarah, masyarakat Aceh bukanlah orang yang mudah menerima dan mempercayai sesuatu dengan mudah, mereka akan meneliti dan menelaah dulu sesuatu itu baru kemudian mentaatinya. seperti misalnya kepercayaan kepada Raja pada masa kerajaan Aceh dahulu, tidak lahir karena adanya intimidasi kepada masyarakat yang membuat takut masyarakat, tetapi justru lahir dari adanya i’tikad yang baik dari Raja bekerja untuk kebaikan masyarakatnya. Masyarakat Aceh, yang dahulunya percaya kepada kearifan ulamanya, saat ini seperti kehilangan kepemimpinan ulama yang kharismatik yang benar-benar dipercayai dengan sepenuh hati, terlihat dari pelaksanaan syariat islam yang masih membingungkan.

Sebenarnya, tidak ada masyarakat Aceh yang tidak gembira dengan diberlakukannya Syari’at Islam, karena jelas perjuangan yang digemakan Tengku Daud Beureueh kepada Soekarno (Presiden RI saat itu) untuk memberlakukan Syari’at Islam di Aceh baru berhasil setelah ribuan nyawa melayang, membuktikan bahwa Syari’at Islam di Aceh benar-benar merupakan perjuangan yang panjang. Karena itu, sebagai wujud syukur atas keberhasilan ini rakyat Aceh akan berusaha merealisasikan Syari’at Islam semaksimal mungkin (kaffah) di Aceh, disamping Syari’at Islam memang merupakan panggilan terdalam nurani rakyat aceh untuk mengamalkan Islam secara kaffah sejak dahulu kala.

 Islam adalah lambang ketaatan kepada sesuatu, bukan paksaan yang malah akan membuat hukum itu akan ditakuti, apalagi jika hukum yang ditakuti itu adalah hukum Tuhan, sehingga terhadap penerapan syari’at islam di Aceh masih banyak pertanyaan seperti, apa saja yang termasuk Syariat Islam? siapa yang harus menjalankannya dan siapa yang paling bertanggungjawab atas penegakannya? kapan dan bagaimana Syari’at Islam itu siap dijalankan? Tentu saja pertanyaan-pertanyaan ini butuh jawaban yang tidak mudah.

Tidak perlu terburu-buru mengatakan bahwa Islam mengatur semuanya sebelum kita mengetahui kenapa Islam harus mengatur segalanya, Allah menurunkan ajaranNya yang berisikan aturan-aturan kehidupan tidak hanya diperuntukkan bagi kehidupan agama, karena aturan agama itu sebenarnya adalah aturan yang dijalankan manusia di dunia yang kemudian berimbas terhadap akhirat. Allah tidak memberi aturan yang mengatur bagaimana cara beribadah dalam Islam? bagaimana cara shalat, puasa, zakat dan haji? tanpa mengatur bagaimana cara bersosial? berpolitik? keamanan dan pertahanan?  Bukankah tidak ada masalah yang berada diluar itu yang Islam tidak mengaturnya?

Seperti yang kita ketahui Al-Qur’an memuat semua aturan yang ada di dunia ini dan menjadi petunjuk bagi manusia untuk menjalankan kehidupan dunianya untuk menuju akhiratnya, maka pertanyaan pertama adalah bukan siapa yang harus menjalankan Syari’at tersebut, tetapi siapa yang dapat memahami aturan itu benar sebagaimana yang dimaksud oleh Allah dan Rasul-Nya secara tepat?. Dalam  Allah SWT telah memberikan manusia akal fikiran untuk mempertimbangkan dua hal ini yang menurut al-Qur’an tidak mungkin akan bertemu dalam satu waktu, karena yang benar dan salah merupakan suatu yang saling bertentangan. Untuk menetapkan kebenaran memerlukan diskusi dan waktu yang panjang, Islam melarang menetapkan kebenaran secara sepihak tanpa terlebih dahulu dilakukan pembahasan, diskusi, debat yang semua diatur dengan sistem hikmah dan mau’idhatil hasanah, karena menerapkan sistem ini pula Aceh telah mengalami masa keemasannya sebagai salah satu pusat studi Islam dunia pada masa Sultan Iskandar Muda.

Untuk mewujudkan hal itu kembali, maka yang dibutuhkan Aceh saat ini adalah mengangkat kembali urgensi pendidikan agama agar  menjadi satu-satunya sarana untuk membangun kembali peradaban Aceh yang hilang akibat pertumpahan darah yang berlangsung sejak serangan portugis pertama kali ke Malaka (saat itu masih wilayah kerajaan Aceh), karena dengan diutamakannya pendidikan khususnya pendidikan agama di Aceh, maka 10 atau 20 tahun mendatang Aceh akan memiliki ulama yang menjadi rujukan rakyat Aceh, dan dapat menjadi percontohan untuk penerapan Syari’at Islam di Aceh secara kaffah serta mampu menjawab setiap persoalan kehidupan dengan petunjuk al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.

Pendidikan yang dimaksud tentu dengan kurikulum yang memiliki tujuan dan ukuran jelas dan  ditujukan untuk penerapan Syari’at Islam maksimal di Aceh, artinya dengan penerapan Syari’at Islam di Aceh bukan justru membuat Aceh menjadi tertutup untuk setiap pemikiran yang berkembang di dunia saat ini, melainkan  berdasarkan pada keyakinan bahwa Islam adalah agama yang universal milik semua umat manusia yang menginginkan kebenaran, dan mampu menjawab setiap persoalan dunia.

Mengingat adanya lembaga khusus yang akan menangani masalah penerapan Syari’at Islam di Aceh yaitu Dinas Syari’at Islam. Sehingga pendidikan agama yang dimaksud benar-benar akan mendapat naungan penuh dari negara yang ditujukan sebagai persiapan untuk calon ulama yang mengisi Aceh di masa mendatang, walaupun  keberadaan naungan tersebut tentu tidak dapat mengintervensi syari’at secara langsung menurut kemauan politik pemerintah.

Untuk itu, pemerintah yang saat ini telah diberikan kekuasaan penuh untuk mendukung penerapan Syari’at Islam di Aceh seharusnya memberikan bantuan yang maksimal untuk segera melakukan persiapan penegakan Syari’at Islam secara kaffah di Aceh jika memang pemerintah benar-benar bertujuan untuk itu, jika tidak masyarakat Aceh bisa menilai apa sebenarnya yang menjadi tujuan pemerintah untuk Aceh. Dukungan pemerintah untuk pendidikan kader ulama aceh (atau dengan istilah yang disesuaikan) disamping ulama itu sendiri sangatlah dirasa penting sebagai percepatan penerapan Syari’at Islam secara kaffah di Aceh.Salah satu usaha tersebut adalah dengan mendirikan sekolah persiapan kader ulama, karena lulusan-lulusan dari sekolah persiapan inilah nantinya akan mengisi setiap pos hingga kelompok masyarakat terkecil di Aceh.  Tetapi, dana untuk penerapan Syari’at Islam itu sendiri sangat minim, tidak hanya itu bahkan menurut hasil penelitian acehinstitute.org Dinas Syari’at Islam sendiri diisi bukan oleh orang-orang yang berbasis agama, tidak hanya pada pegawainya yang tidak cocok (dengan tidak generalisasi), personil Dinas Syari’at Islam malah lebih banyak lulusan SLTP dan SLTA.

Persiapan personel Dinas Syari’at Islam untuk saat ini benar-benar dipaksakan, sedangkan kita tahu bahwa keterpaksaan tidak akan berdampak baik bagi apapun, dan kebutuhan akan adanya lembaga persiapan untuk itu sangat mendesak, jika hal ini tidak segera diselesaikan maka akan berdampak buruk bagi Syari’at Islam itu sendiri yang telah memiliki dukungan penerintah tetapi tidak ada kemajuan yang berarti, dampak tersebut bukan hanya dimata masyarakat Aceh sendiri yang lambat-laun akan bosan nantinya, tapi juga dimata Internasional. Jika pemerintah dan orang yang bertanggung jawab mampu melaksanakan tugas ini telah berhasil menerapkan sistem yang baik bagi persiapan tersebut, maka Syari’at Islam sendiri perlahan akan diterima dengan lapang dada dan tanpa paksaan di Aceh, saat itulah pertanyaan tentang siapa yang akan menjalankan dan bertanggung jawab atas Syari’at Islam di Aceh akan terjawab dengan sendirinya, yaitu rakyat aceh sendiri
.
Setelah persiapan-persiapan tersebut telah rampung dan berhasil mencetak ulama-ulama Aceh untuk diterjunkan dalam masyarakatnya, dan memberi bimbingan keagaamaan serta penyuluhan rohani yang tepat bagi penyakit masyarakat, sehingga masyarakat yang rohaninya terbimbing dengan Islam tentu akan membawa keberkahan bagi wilayah itu sendiri sebagaimana janji Allah  “jika penduduk suatu daerah beriman dan bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan membukakan pintu keberkahan bagi mereka “, artinya kemajuan lain seperti bidang ilmu pengetahuan dan teknologi akan ikut maju dengan sendirinya.

Namun tentu ulama-ulama yang diterjunkan ke masyarakat tidak seperti “induk ayam yang mematuk anaknya yang telah besar”, pemerintah harus tetap memperhatikan kesejahteraan ulama dari segi kehidupan dan ekonominya, sehingga ulama benar-benar berkonsentrasi untuk membimbing umat tanpa harus mengurangi waktunya untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya. Mampukah pemerintah kita yang mengaku sebagai pelayan masyarakat dalam mengatur hal ini dan kita sebagai juri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kemunafikan dalam Pembelaan Palestina

Oleh  : Yuliana Dilema besar dari keputusan Donald Trump ini ialah sebuah keyakinan keimanan tidak akan pernah selesai dengan solu...